Blog In Masde ...Assalamualaikum | Member Area | My Service | Saran
Home » » RINGKASAN SHIFAT SHALAT NABI

RINGKASAN SHIFAT SHALAT NABI


RINGKASAN SHIFAT SHALAT NABI 
1. MENGHADAP KA’BAH
 1. Apabila anda – wahai Muslim – ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka’bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini.
 2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi ‘seorang yang sedang berperang’ pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat.
- Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu.
- Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya – jika hal ini memungkinkan – supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.
 3. Wajib bagi yang melihat Ka’bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka’bah.
 HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA’BAH KARENA KELIRU
 4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi.
5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan (tanpa harus membatalkan shalat-pen), dan shalatnya sah.
 2. BERDIRI
 6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi :
- Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya.
- Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring.
- Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku’ dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.
 7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai).
 SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESAWAT
 8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di pesawat.
 9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau pesawat sambil duduk bila khawatir akan jatuh.
 10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah.
 SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK
 11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku’ ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku’ lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua.
 12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat.
SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL
 13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal.
 14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa).
 15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka hendaklah diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Al-Albaani berkata: disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal di depan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal.

 SHALAT DI ATAS MIMBAR
 16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku’ setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya.
 KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP SUTRAH (PEMBATAS) DAN MENDEKAT KEPADANYA
 17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 “Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya”. (Maksudnya syaitan).
 18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan hal itu.
 19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. Syaikh Al-Albaani berkata: dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

KADAR KETINGGIAN PEMBATAS
 20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 “Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana (Yaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan di punggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa: menggaris di atas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang meriwayatkan tentang itu lemah.) (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas”.
 21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah.
 22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta.
 HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR
 23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi.
 HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM
 24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 “Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat”. Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. (Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab “Haasyiatul Mathaaf” bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat di depannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya.)
KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM
 25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu.
 “Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu …”.
 Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 “Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan”.
 BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT
 26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya.


 HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT
 27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam.
 3. NIAT
 28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid’ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta).
 4. TAKBIR
 29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. “Allahu Akbar” (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam”.
 Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila engkau hendak mengerjakan sholat, maka sempurnakanlah wudhu'mu terlebih dahulu kemudian menghadaplah ke arah kiblat, lalu ucapkanlah takbiratul ihrom."
(Muttafaqun 'alaihi).
 30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam.
 31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama’ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat.
 32. Ma’mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir.
 MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA
 33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Tamam dan Hakim disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya dengan membuka jari-jarinya lurus ke atas (tidak merenggangkannya dan tidak pula menggengamnya)
 35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga.
 "Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang bahu jika hendak memulai sholat, setiap kali bertakbir untuk ruku' dan setiap kali bangkit dari ruku'nya."
(Muttafaqun 'alaihi).
 "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa mengangkat kedua tangannya setentang telinga setiap kali bertakbir (didalam sholat)."
(HR. Muslim).
Syaikh Al-Albaani berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was.
MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA
 36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya.
"Kami, para nabi diperintahkan untuk segera berbuka dan mengakhirkan sahur serta meletakkan tangan kanan pada tangan kiri (bersedekap) ketika melakukan sholat."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dan Adh Dhiya' dengan sanad shahih).
 Dalam sebuah riwayat pernah beliau melewati seorang yang sedang sholat, tetapi orang ini meletakkan tangan kirinya pada tangan kanannya, lalu beliau melepaskannya, kemudian orang itu meletakkan tangan kanannya pada tangan kirinya. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih).




 37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan.
Berdasar hadits dari Wail bin Hujur:
"Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas telapak tangan kiri, pergelangan tangan kiri atau lengan kirinya."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, dengan sanad yang shahih dan dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban, hadits no. 485).
38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. (Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggenggam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya.)
Berdasarkan hadits Nasa'i dan Daraquthni:
"Tetapi beliau terkadang menggenggamkan jari-jari tangan kanannya pada lengan kirinya."
(sanad shahih).
 TEMPAT MELETAKKAN TANGAN
 39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama.
Berdasarkan hadits:
"Beliau meletakkan kedua tangannya di atas dadanya."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wail bin Hujur).
 Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami…. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebeluim ruku'. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."
Syaikh Al-Albaani berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
 40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang.


KHUSYU’ DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD
 41. Hendaklah berlaku khusu’ dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu’ seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing.
 42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak mengalihkan pandangannya dari tempat sujud (di dalam sholat)." (HR. Baihaqi dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
 43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba.
Beliau bersabda:
"Jika kalian sholat, janganlah menoleh ke kanan atau ke kiri karena Allah akan senantiasa menghadapkan wajah-Nya kepada hamba yang sedang sholat selama ia tidak menoleh ke kanan atau ke kiri."(HR. Tirmidzi dan Hakim).
 44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Hendaklah sekelompok orang benar-benar menghentikan pandangan matanya yang terangkat ke langit ketika berdoa dalam sholat atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka."
(HR. Muslim, Nasa'i dan Ahmad).
 DO’A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN)
 45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do’a-do’a yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah :
 ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุจَุงุนِุฏْ ุจَูŠْู†ِูŠْ ูˆَุจَูŠْู†َ ุฎَุทَุงูŠَุงูŠَ ูƒَู…َุง ุจَุงุนَุฏْุชَ ุจَูŠْู†َ ุงู„ْู…َุดْุฑِู‚ِ ูˆَุงู„ْู…َุบْุฑِุจِ، ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ู†َู‚ِّู†ِูŠْ ู…ِู†ْ ุฎَุทَุงูŠَุงูŠَ، ูƒَู…َุง ูŠُู†َู‚َّู‰ ุงู„ุซَّูˆْุจُ ุงْู„ุฃَุจْูŠَุถُ ู…ِู†َ ุงู„ุฏَّู†َุณِ، ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุงุบْุณِู„ْู†ِูŠْ ู…ِู†ْ ุฎَุทَุงูŠَุงูŠَ ุจِุงู„ุซَّู„ْุฌِ ูˆَุงู„ْู…َุงุกِ ูˆَุงู„ْุจَุฑَุฏِ.
 “Ya Allah, jauhkan antara aku dan kesalahan-kesalahanku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dan kesalahan- kesalahanku, sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan air es”. [HR. Al-Bukhari 1/181 dan Muslim 1/419.]
 ุณُุจْุญَุงู†َูƒَ ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ูˆَุจِุญَู…ْุฏِูƒَ، ูˆَุชَุจَุงุฑَูƒَ ุงุณْู…ُูƒَ، ูˆَุชَุนَุงู„َู‰ ุฌَุฏُّูƒَ، ูˆَู„ุงَ ุฅِู„َู€ู‡َ ุบَูŠْุฑُูƒَ.
 Maha Suci Engkau ya Allah, aku memujiMu, Maha Berkah akan nama-Mu, Maha Tinggi kekayaan dan kebesaranMu, tiada Ilah yang berhak disembah selain Engkau. [HR. Empat penyusun kitab Sunan, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 1/77 dan Shahih Ibnu Majah 1/135.]
 ูˆَุฌَّู‡ْุชُ ูˆَุฌْู‡ِูŠَ ู„ِู„َّุฐِูŠْ ูَุทَุฑَ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถَ ุญَู†ِูŠْูًุง ูˆَู…َุง ุฃَู†َุง ู…ِู†َ ุงู„ْู…ُุดْุฑِูƒِูŠْู†َ، ุฅِู†َّ ุตَู„ุงَุชِูŠْ، ูˆَู†ُุณُูƒِูŠْ، ูˆَู…َุญْูŠَุงูŠَ، ูˆَู…َู…َุงุชِูŠْ ู„ِู„َّู‡ِ ุฑَุจِّ ุงู„ْุนَุงู„َู…ِูŠْู†َ، ู„ุงَ ุดَุฑِูŠْูƒَ ู„َู‡ُ ูˆَุจِุฐَู„ِูƒَ ุฃُู…ِุฑْุชُ ูˆَุฃَู†َุง ู…ِู†َ ุงู„ْู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ. ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุฃَู†ْุชَ ุงู„ْู…َู„ِูƒَ ู„ุงَ ุฅِู„َู€ู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ. ุฃَู†ْุชَ ุฑَุจِّูŠْ ูˆَุฃَู†َุง ุนَุจْุฏُูƒَ، ุธَู„َู…ْุชُ ู†َูْุณِูŠْ ูˆَุงุนْุชَุฑَูْุชُ ุจِุฐَู†ْุจِูŠْ ูَุงุบْูِุฑْู„ِูŠْ ุฐُู†ُูˆْุจِูŠْ ุฌَู…ِูŠْุนًุง ุฅِู†َّู‡ُ ู„ุงَ ูŠَุบْูِุฑُ ุงู„ุฐُّู†ُูˆْุจَ ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ. ูˆَุงู‡ْุฏِู†ِูŠْ ู„ุฃَุญْุณَู†ِ ุงْู„ุฃَุฎْู„ุงَู‚ِ ู„ุงَ ูŠَู‡ْุฏِูŠْ ู„ุฃَุญْุณَู†ِู‡َุง ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ، ูˆَุงุตْุฑِูْ ุนَู†ِّูŠْ ุณَูŠِّุฆَู‡َุง، ู„ุงَ ูŠَุตْุฑِูُ ุนَู†ِّูŠْ ุณَูŠِّุฆَู‡َุง ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ، ู„َุจَّูŠْูƒَ ูˆَุณَุนْุฏَูŠْูƒَ، ูˆَุงู„ْุฎَูŠْุฑُ ูƒُู„ُّู‡ُ ุจِูŠَุฏَูŠْูƒَ، ูˆَุงู„ุดَّุฑُّ ู„َูŠْุณَ ุฅِู„َูŠْูƒَ، ุฃَู†َุง ุจِูƒَ ูˆَุฅِู„َูŠْูƒَ، ุชَุจَุงุฑَูƒْุชَ ูˆَุชَุนَุงู„َูŠْุชَ، ุฃَุณْุชَุบْูِุฑُูƒَ ูˆَุฃَุชُูˆْุจُ ุฅِู„َูŠْูƒَ.
 “Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi, dengan memegang agama yang lurus dan aku tidak tergolong orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku adalah untuk Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada sekutu bagiNya, dan karena itu, aku diperintah dan aku termasuk orang-orang muslim.
 Ya Allah, Engkau adalah Raja, tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku adalah hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui dosaku (yang telah kulakukan). Oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku, sesungguhnya tidak akan ada yang mengampuni dosa-dosa, kecuali Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik, tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau. Hindarkan aku dari akhlak yang jahat, tidak akan ada yang bisa menjauhkan aku daripadanya, kecuali Engkau. Aku penuhi panggilanMu dengan kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu, kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup dengan pertolongan dan rahmatMu, dan kepadaMu (aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi. Aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu”. [HR. Muslim 1/534]
 ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ุฑَุจَّ ุฌِุจْุฑَุงุฆِูŠْู„َ، ูˆَู…ِูŠْูƒَุงุฆِูŠْู„َ، ูˆَุฅِุณْุฑَุงูِูŠْู„َ ูَุงุทِุฑَ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ، ุนَุงู„ِู…َ ุงู„ْุบَูŠْุจِ ูˆَุงู„ุดَّู‡َุงุฏَุฉِ، ุฃَู†ْุชَ ุชَุญْูƒُู…ُ ุจَูŠْู†َ ุนِุจَุงุฏِูƒَ ูِูŠْู…َุง ูƒَุงู†ُูˆْุง ูِูŠْู‡ِ ูŠَุฎْุชَู„ِูُูˆْู†َ. ุงِู‡ْุฏِู†ِูŠْ ู„ِู…َุง ุงุฎْุชُู„ِูَ ูِูŠْู‡ِ ู…ِู†َ ุงู„ْุญَู‚ِّ ุจِุฅِุฐْู†ِูƒَ ุชَู‡ْุฏِูŠْ ู…َู†ْ ุชَุดَุงุกُ ุฅِู„َู‰ ุตِุฑَุงุทٍ ู…ُุณْุชَู‚ِูŠْู…ٍ.
 .“Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil. Wahai Pencipta langit dan bumi. Wahai Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan nyata. Engkau yang menjatuhkan hukum (untuk memutuskan) apa yang mereka (orang-orang kristen dan yahudi) pertentangkan. Tunjukkanlah aku pada kebenaran apa yang dipertentangkan dengan seizin dariMu. Sesungguhnya Engkau menunjukkan pada jalan yang lurus bagi orang yang Engkau kehendaki”. [HR. Muslim 1/534.]
 ุงَู„ู„ู‡ُ ุฃَูƒْุจَุฑُ ูƒَุจِูŠْุฑًุง، ุงَู„ู„ู‡ُ ุฃَูƒْุจَุฑُ ูƒَุจِูŠْุฑًุง، ุงَู„ู„ู‡ُ ุฃَูƒْุจَุฑُ ูƒَุจِูŠْุฑًุง، ูˆَุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ِู„َّู‡ِ ูƒَุซِูŠْุฑًุง، ูˆَุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ِู„َّู‡ِ ูƒَุซِูŠْุฑًุง، ูˆَุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ِู„َّู‡ِ ูƒَุซِูŠْุฑًุง، ูˆَุณُุจْุญَุงู†َ ุงู„ู„ู‡ِ ุจُูƒْุฑَุฉً ูˆَุฃَุตِูŠْู„ุงً)) ุซู„ุงุซุง ((ุฃَุนُูˆْุฐُ ุจِุงู„ู„ู‡ِ ู…ِู†َ ุงู„ุดَّูŠْุทَุงู†ِ، ู…ِู†ْ ู†َูْุฎِู‡ِ ูˆَู†َูْุซِู‡ِ ูˆَู‡َู…ْุฒِู‡ِ
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Maha Suci Allah di waktu pagi dan sore”. (Diucapkan tiga kali). “Aku berlindung kepada Allah dari tiupan, bisikan dan godaan setan”. [HR. Abu Dawud 1/203, Ibnu Majah 1/265 dan Ahmad 4/85. Muslim juga meriwayatkan hadits senada dari Ibnu Umar, dan di dalamnya terdapat kisah 1/420
 ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ุฃَู†ْุชَ ู†ُูˆْุฑُ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ ูˆَู…َู†ْ ูِูŠْู‡ِู†َّ، ู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ุฃَู†ْุชَ ู‚َูŠِّู…ُ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ ูˆَู…َู†ْ ูِูŠْู‡ِู†َّ، [ูˆَู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ุฃَู†ْุชَ ุฑَุจُّ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ ูˆَู…َู†ْ ูِูŠْู‡ِู†َّ][ูˆَู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ู„َูƒَ ู…ُู„ْูƒُ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ ูˆَู…َู†ْ ูِูŠْู‡ِู†َّ][ูˆَู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ ุฃَู†ْุชَ ู…َู„ِูƒُ ุงู„ุณَّู…َุงูˆَุงุชِ ูˆَุงْู„ุฃَุฑْุถِ][ ูˆَู„َูƒَ ุงู„ْุญَู…ْุฏُ][ุฃَู†ْุชَ ุงู„ْุญَู‚ُّ، ูˆَูˆَุนْุฏُูƒَ ุงู„ْุญَู‚ُّ، ูˆَู‚َูˆْู„ُูƒَ ุงู„ْุญَู‚ُّ، ูˆَู„ِู‚َุงุคُูƒَ ุงู„ْุญَู‚ُّ، ูˆَุงู„ْุฌَู†َّู‡ُ ุญَู‚ُّ، ูˆَุงู„ู†َّุงุฑُ ุญَู‚ُّ، ูˆَุงู„ู†َّุจِูŠُّูˆْู†َ ุญَู‚ُّ، ูˆَู…ُุญَู…َّุฏٌ ุญَู‚ُّ، ูˆَุงู„ุณَّุงุนَุฉُ ุญَู‚ُّ][ุงَู„ู„َّู‡ُู…َّ ู„َูƒَ ุฃَุณْู„َู…ْุชُ، ูˆَุนَู„َูŠْูƒَ ุชَูˆَูƒَّู„ْุชُ، ูˆَุจِูƒَ ุขู…َู†ْุชُ، ูˆَุฅِู„َูŠْูƒَ ุฃَู†َุจْุชُ، ูˆَุจِูƒَ ุฎَุงุตَู…ْุชُ، ูˆَุฅِู„َูŠْูƒَ ุญَุงูƒَู…ْุชُ. ูَุงุบْูِุฑْ ู„ِูŠْ ู…َุง ู‚َุฏَّู…ْุชُ ูˆَู…َุง ุฃَุฎَّุฑْุชُ، ูˆَู…َุง ุฃَุณْุฑَุฑْุชُ ูˆَู…َุง ุฃَุนْู„َู†ْุชُ][ุฃَู†ْุชَ ุงู„ْู…ُู‚َุฏِّู…ُ ูˆَุฃَู†ْุชَ ุงู„ْู…ُุคَุฎِّุฑُ، ู„ุงَ ุฅِู„َู€ู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ][ุฃَู†ْุชَ ุฅِู„َู€ู‡ِูŠْ ู„ุงَ ุฅِู„َู€ู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุฃَู†ْุชَ].
 “Apabila Nabi Shallallahu’alaihi wasallam shalat Tahajud di waktu malam, beliau membaca: “Ya, Allah! BagiMu segala puji, Engkau cahaya langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau yang mengurusi langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji, Engkau Tuhan yang menguasai langit dan bumi serta seisinya. BagiMu segala puji dan bagi-Mu kerajaan langit dan bumi serta seisi-nya. BagiMu segala puji, Engkau benar, janjiMu benar, firmanMu benar, bertemu denganMu benar, Surga adalah benar (ada), Neraka adalah benar (ada), (terutusnya) para nabi adalah benar, (terutusnya) Muhammad adalah benar (dariMu), kejadian hari Kiamat adalah benar. Ya Allah, kepadaMu aku menyerah, kepadaMu aku bertawakal, kepadaMu aku beriman, kepadaMu aku kembali (bertaubat), dengan pertolonganMu aku berdebat (kepada orang-orang kafir), kepadaMu (dan dengan ajaran-Mu) aku menjatuhkan hukum. Oleh karena itu, ampunilah dosaku yang telah lewat dan yang akan datang. Engkaulah yang mendahulukan dan mengakhirkan, tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang hak disembah kecuali Engkau”. [HR. Al-Bukhari dalam Fathul Bari 3/3, 11/116, 13/371, 423, 465 dan Muslim meriwayatkannya dengan ringkas 1/532]
Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan.
 5. QIRAAH (BACAAN)
 46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta’ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa.
Sebagaimana firman Allah ta'ala:
"Apabila kamu membaca al Qur-an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (An Nahl : 98).
47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca.
 "A'UUDZUBILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMAZIHI WA NAFKHIHI WANAFTSIHI"
 artinya:
"Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk, dari semburannya (yang menyebabkn gila), dari kesombongannya, dan dari hembusannya (yang menyebabkan kerusakan akhlaq)."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, Daraquthni, Hakim dan dishahkan olehnya serta oleh Ibnu Hibban dan Dzahabi).
 48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan.
"A'UUZUBILLAHIS SAMII'IL ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM..."
 artinya:
"Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk..."
(Hadits diriwayatkan oleh Al Imam Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad hasan).
 49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan).
 MEMBACA AL-FAATIHAH
 50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang ‘Ajm (non Arab) untuk menghafalnya. Berdasarkan perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):
"Tidak dianggap sholat (tidak sah sholatnya) bagi yang tidak membaca Al-Fatihah"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Jama'ah: yakni Al-Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa-i dan Ibnu Majah).
 "Barangsiapa yang sholat tanpa membaca Al-Fatihah maka sholatnya buntung, sholatnya buntung, sholatnya buntung…tidak sempurna" (Hadits Shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim dan Abu 'Awwanah).
 51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca.
 “Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah”.
 “Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah”.
 52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil ‘aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti di akhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan.

 53. Boleh membaca (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula (Maliki) dengan pendek.
 BACAAN MA’MUM
 54. Wajib bagi ma’mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma’mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma’mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma’mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini tidak tsabit dari sunnah.
 Dari Abu Hurairah, ia berkata: Telah berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :"Dijadikan imam itu hanya untuk diikuti. Oleh karena itu apabila imam takbir, maka bertakbirlah kalian, dan apabila imam membaca, maka hendaklah kalian diam (sambil memperhatikan bacaan imam itu)…"
(Hadits Shahih dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud no. 603 & 604. Ibnu Majah no. 846, An-Nasa-i. Imam Muslim berkata: Hadits ini menurut pandanganku Shahih).
 "Barangsiapa sholat mengikuti imam (bermakmum), maka bacaan imam telah menjadi bacaannya juga."
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah, Ad-Daraquthni, Ibnu Majah, Thahawi dan Ahmad lihat kitab Irwa-ul Ghalil oleh Syaikh Al-Albani).
 Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sesudah mendirikan sholat yang beliau keraskan bacaanya dalam sholat itu, beliau bertanya: "Apakah ada seseorang diantara kamu yang membaca bersamaku tadi?" Maka seorang laki-laki menjawab, "Ya ada, wahai Rasulullah." Kemudian beliau berkata, "Sungguh aku katakan: Mengapakah (bacaan)ku ditentang dengan Al-Qur-an (juga)." Berkata Abu Hurairah, kemudian berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada sholat-sholat yang Rasulullah keraskan bacaannya, ketika mereka sudah mendengar (larangan) yang demikian itu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
(Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Malik. Abu Hatim Ar Razi menshahihkannya, Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan).
 BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH
 55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka’at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah.
 Dari Abu hurairah, dia berkata: "Dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika selesai membaca surat Ummul Kitab (Al-Fatihah) mengeraskan suaranya dan membaca amin."
(Hadits dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni dan Ibnu Majah, oleh Al-Albani dalam Al-Silsilah Al-Shahihah dikatakan sebagai hadits yang berkualitas shahih)
 "Bila Nabi selesai membaca Al-Fatihah (dalam sholat), beliau mengucapkan amiin dengan suara keras dan panjang."
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Abu Dawud)
 Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Jika kamu hafal suatu ayat Al-Qur-an maka bacalah ayat tersebut, jika tidak maka bacalah Tahmid, Takbir dan Tahlil." (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dihasankan oleh At-Tirmidzi, tetapi sanadnya shahih, baca Shahih Abi Dawud hadits no. 807).
 56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil.
 57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.
 58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu.
 59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua.
 60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. 7)
 61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat.
62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terakhir.
 63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma’mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan.
Rasulullah berkata:"Aku melakukan sholat dan aku ingin memperpanjang bacaannya akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi sehingga aku memperpendek sholatku karena aku tahu betapa gelisah ibunya karena tangis bayi itu." (Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)


 MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN
 64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum’at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya.
 65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan).
 66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan.
 MEMBACA AL-QUR’AN DENGAN TARTIL
 67. Sunnah membaca Al-Qur’an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur’an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur’an seperti perbuatan Ahli Bid’ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik.
 Rasulullah berkata bahwa orang yang membaca Al-Qur-an kelak akan diseru:
"Bacalah, telitilah dan tartilkan sebagaimana kamu dulu mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca." (Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-Qur-an dengan suara yang bagus, maka beliau juga memerintahkan yang demikian itu:"Perindahlah/hiasilah Al-Qur-an dengan suara kalian [karena suara yang bagus menambah keindahan Al-Qur-an]."(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari , Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Tamam Ar-Razi)
 "Bukanlah dari golongan kami orang yang tidak melagukan Al-Qur-an." (Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)
 68. Disyari’atkan bagi ma’mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru.
6. RUKU’
 69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur.
 70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram.
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila berdiri dalam sholat mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, hal itu dilakukan ketika bertakbir hendak rukuk dan ketika mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku' …."
(Hadits dikeluarkan oleh Al Imam Al-Bukhari, Muslim dan Malik)

1 komentar: